Angin
berhembus semilir, lagu-lagu adat Banjar terus didendangkan,
tetap tidak bisa mengalahkan hiruk pikuk yang terdengar di setiap meja. Anak
kecil berlari-larian, ada yang sibuk mengobrol dengan keluarga, ada
yang asyik berdua dengan kekasihnya dan waiter
yang hilir mudik membawakan pesanan.
Sambil menunggu pesananku, aku mengamati
sekeliling. Rumah
makan ini selalu ramai
apalagi saat weekend. Tempatnya out door dengan view sungai dan pepohonan
kelapa di sepanjang mata memandang.
Aku memilih duduk di dalam sebuah
kapal besar, yang didekorasi dengan meja dan
kursi kayu. Angin sepoi-sepoi berhembus tiada henti membawa hawa sejuk, meskipun
sebenarnya sang surya seperti tidak
ingin bersembunyi di balik awan.
Aku terus mengamati, apa hanya aku
yang datang ke sini sendiri? Ya .. aku terjeabak di rumah makan ini sendirian!
Kalau laptop termasuk teman, oke .. artinya aku
berdua dengan teman. LOL.
Ntah,
aku yang gila bekerja atau hanya pengalihan dari galau akibat putus tunangan beberapa
bulan lalu. Weekend-pun aku
sibukkan dengan bekerja. Kalo weekday jangan di
tanya lagi, aku akan menghabiskan waktuku untuk lembur di kantor.
Toh.. gak ada yang menungguku di rumah karena aku sebatang kara di Kota
ini. Yapsss.. aku anak rantau! Hidup mandiri di kota orang.
Tiba-tiba
semua kenangan malam itu kembali merasuki ingatanku
....
Aku melihat Randi masuk lobby hotel bersama seorang wanita, saat itu aku baru saja keluar
dari meeting room hotel tersebut. Tanpa pikir panjang, aku mendekati mereka.
"Sayang, ngapain di sini?"
Sontak dia berpaling dan terkejut melihaku.
"Sayang ... eh .. sayang .." dia tergagap.
Aku menunggunya menjawab.
"Ini siapa Beb?" Wanita sampingnya bertanya balik.
"Hmm... Ini beb .. diaa ini .. dia ..
" dia tergagap kembali.
"Aku tunangannya, kamu siapa?" tanyaku
ketus.
“Aku calon istrinya!”. Jawabnya sambil
mengeratkan gandengannya ke Randi.
"Permisi mba, ini pesanannya." Suara waiter membuyarkan Flashback namun, hatiku kembali terenyuh. Dia yang biasanya ada di sampingku, dia yang memperlakukan aku like a queen, dia yang biasa dengerin curhatan aku, dia yang rewel
kalo aku lagi ngelamun gini ..
Isshhhh ishhh.. Dia lagi, dia
lagi! Semandiri apapun wanita, bisa cari uang sendiri, menyetir
sendiri, kemana mana sendiri, tetap akan
terjatuh dan terpuruk
saat lelaki yang dicintainya memilih
wanita lain.
Ku mencoba untuk menyentuh makanan
yang telah disajikan, aku mencoba mencicipi ikan
gabus panggang dengan "cacapan khas Banjarmasin"
yang biasanya menggugah selera makanku. Ya makanan traditional di tempat traditional! Di sini juga lah aku sering makan
berdua dengan Randi, ditemani dengan
pemandangan sungai yang membentang, pepohonan kelapa yang berayun, semilir
angin di siang yang terik, yang menjadi
saksi bisu kebersamaan kami. Dan kini menjadi
saksi bisu hancurnya hati seorang wanita tangguh dan mandiri yang selalu
menggunakan lembur untuk alasan klise melarikan diri. Setidaknya terdengar sedikitttttt… lebih
keren ya. Daripada masuk berita dikoran harian lokal, ditemukan wanita lemah
yang putus asa di tinggal tunangannya demi wanita lain dan memilih mengakhiri
hidupnya dengan terjun ke sungai. Noooooooooooooo… its not me!
“APAAAA??
CALON ISTRI? Mba-nya sehat? Dia ini Tunangan saya, bisa bisanya anda menyebut
diri anda calon istrinya. MIMPI?” kataku tersulut emosi.
“Eh,
anda itu yang siapa? Dia ini calon suami saya dan calon ayah dari anak kami.
Bulan depan kami akan menikah di sini. Hari ini kami akan meeting dengn WO dan
pihak hotel. Jadi yang mimpi itu ANDA, nona!”. Jelas wanita itu tak mau kalah.
Aku
terdiam sesaat. She is pregnant? Wedding? Next month? Apa aku gak salah dengar?
Ku tatap mata Randi, menunggu klarifikasi darinya. Namun, wajahnya tertunduk
malu. Inikah lelaki yang begitu aku hormati?
“Well, aku ngerti dari diam mu, sayang.
Terima kasih sudah mengecewakan aku dan seluruh rencana masa depan kita,
keluargaku dan keluargamu. Thanks untuk sikap pengecutmu yang tidak berani
mengutarakan hal yang sebenarnya dan membatalkan pertunangan kita secara sepihak.
Semoga pernikahan kalian dan persalinannya nanti berjalan lancar. We done!” Aku memaksakan untuk
tersenyum.
Wanita di
samping Randi tersenyum puas, “Oke. Sudah clear ya mba! Maaf kami tinggal, kami
sibuk mempersiapkan segalanya. Jangan lupa ya nanti datang ke pernikahan kami.”
Mereka berlalu. Tanpa satu katapun dari Randi.
Ku lepas
cincin pertunangan kami dan ku lempar ke trash
bin. Tak bisa terbendung lagi airmataku. Rasa sakit ini biarlah mengalir
bagaikan sungai, tetap mandiri berjuang untuk masa depan. Walaupun otak ini
harus lembur berkerja menghapus semua kenangan kita.